FORMULIR
QURBAN
Nomor:
__________________
Isian Sekaligus Panduan
bagi Panitia dan
Pekurban untuk Memenuhi Kriteria Fikih
Qurban
Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
______________________________________________________________________
Alamat : ______________________________________________________________________
No HP : ______________________________________________________________________
Sebagai Pihak I, menyatakan dengan sesungguhnya, dengan
niat tulus semata-mata mengharap Allah, bermaksud melakukan ibadah Qurban
melalui Panitia Qurban Masjid/Mushalla/Instansi ______________ sebagai Pihak
II.
Berkaitan dengan hal tersebut, saya menyatakan, sekaligus
memohon dibimbing untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Seputar Niat Qurban
(a) Telah berupa Hewan
Saya niat berkurban sunnah/wajb (*) karena
mengharap ridha Allah.
Catatan: Agar panitia membimbing niat sesuai status qurbannya dan atas
dirinya atau keluarganya. Bila merupakan qurban wajib, maka daging, kulit
dan bagian lainnya dari hewan qurban tidak boleh ada yang terbagikan kepada
pekurban dan keluarganya.
Hewan qurban tersebut berupa:
(i)
Kambing sejumlah : _________ ekor
untuk pekurban (mudhahhi) nama:
1.
____________________________
2.
____________________________
3.
____________________________
(ii)
Sapi sejumlah : _________ ekor
untuk pekurban (mudhahhi)
nama:
1. ____________________________
2. ____________________________
3. ____________________________
4. ____________________________
5. ____________________________
6. ____________________________
7. ____________________________
(b) Masih berupa uang (poin ini harus dilafalkan oleh
Pihak I dan Pihak II)
Pihak I (Pekurban, Muwakkil):
|
Saya
menyerahkan uang sejumlah: Rp. ________________________
kepada
panitia sebagai wakil, untuk dibelikan hewan ternak layak kurban sunnah /
wajib (*), berupa hewan _____________, ___ ekor (bila berupa sapi, maka
bersama maksimal 7 pekurban lainnya).
Selanjutnya,
saya mewakilkan kepada panitia untuk meniatkan
qurban (ta’yin) pada hewan yang telah dibelinya dengan mengatasnamakan
saya yang telah memberi kuasa ini.
|
Pihak II (Panitia, Wakil):
|
Saya terima penyerahan dan perwakilan sesuai ketentuan
tersebut.
|
(c) Kirim Pahala
Pahala Qurban
ini saya berikan kepada:
(1) _______________________________________________________________________
(2) _______________________________________________________________________
(3) _______________________________________________________________________
2.
Perwakilan (wakalah) dan pemberian izin pada
panitia (poin ini harus
dilafalkan oleh Pihak I dan Pihak II)
Pihak I (Pekurban, Muwakkil):
|
Saya
mewakilkan kepada panitia qurban Masjid/Mushalla/Instansi ____________ sebagai wakil untuk proses
penyembelihan dan pembagian Qurban tersebut. Terkait pembagiannya, saya mengizinkan
/ tidak mengizinkan (*) pada panitia untuk ikut mendapatkan jatah dari
hewan qurban ini.
|
Pihak II (Panitia, Wakil):
|
Saya terima perwakilan sesuai ketentuan tersebut.
|
3. Biaya perawatan
dan penyembelihan
Guna biaya
perawatan dan penyembelihan kurban, saya menyumbangkan uang sejumlah: Rp.
____________________
Demikian formulir kurban ini, yang berisi isian dan
panduan niat, wakalah, dan hal-hal terkait, demi keabsahan dan keberkahan
ibadah kami, amin.
____________, _________________ 2016
Pihak I Pihak
II
Pekurban Panitia
/ wakil
( ) ( )
(*) Coret yang tidak perlu
Catatan: Formulir Qurban ini disusun sebagai panduan bagi
pekurban dan panitia, untuk kemudahan dan keabsahan ibadah qurban yang
dilakukan oleh umat Islam. Poin-poin yang terdapat pada formulir ini,
berdasarkan rujukan kitab sebagai berikut (terlampir).
Lampiran formulir
korban
1.
Tentang Niat Qurban
Tujuan:
(a) Mengingatkan pekurban untuk melakukan niat, yang merupakan inti ibadah.
(b) Agar dapat dibedakan antara Qurban sunnah dan qurban wajib, karena keduanya
memiliki kedudukan dan konsekuensi hukum berbeda.
Disebutkan dalam Kitab I’anah at-Thalibin, jilid 2 halaman 376,
أي يشترط فيها النية عند الذبح أو قبله عند التعيين لما يضحي به. ومعلوم
أنها بالقلب، وتسن باللسان، فيقول: نويت الأضحية المسنونة، أو أداء سنة التضحية. فإن اقتصر على نحو الأضحية صارت واجبة يحرم
الأكل منها. (إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح
المعين, 2/ 376)
“Disyaratkan niat
ketika menyembelih, atau sebelumnya yakni ketika menentukan hewan yang akan
dijadikan qurban. Sudah maklum bahwa tempatnya niat adalah hati, dan
disunnahkan juga dilafadzkan dalam lisan. Orang yang berqurban berniat, “Nawaitul
udhiyatal masnunah (Saya niat berkurban sunnah)”, atau “Nawaitu
adaa-a sunnatit tadhiyah (Saya niat menunaikan kesunnahan qurban).”
Jika ia tidak menyebutkan kata “sunnah”, misalkan hanya mengatakan, “Saya niat
berqurban”, maka qurbannya menjadi wajib, sehingga diharamkan atasnya untuk
memakan bagian dari hewan qurban itu (baik daging, kulit, dan lainnya, penj).”
(c)
Agar panitia memilah qurban yang wajib dan sunnah,
sehingga kurban wajib atau nadzar tidak diberikan kembali kepada pekurbannya,
orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya, dan juga panitia sendiri
Disebutkan
dalam al-Bajuri, jilid 2, halaman 300,
ولا يأكل المضحى شيأ
من الأضحية المنذورة (قوله ولا يأكل) اى لايجوزله الأكل فان أكل شيأ غرمه (قوله
المضحى ) وكذا من تلزمه نفقته ( ألباجورى جز 2 ص :
300 )
“Pihak yang berkorban tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban yang
dinadzarkan. Yakni ia tidak boleh memakannya, lalu jika memakannya sedikit saja
maka wajib mengganti. Seperti pihak pekurban (mudhahhi) adalah
orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya.”
ولا يأكل المضحى شيأ من الأضحية المنذورة ويأكل من المتطوع بها (كفاية الأخيار
جز 2 ص : 241 )
“Pihak yang
berkorban tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban yang dinadzarkan dan boleh
memakannya jika merupakan qurban sunnah.”
(ويحرم الاكل الخ ) الى ان قال فيجب عليه
التصدق بجميعها حتى قرنها وظلفها اهـ اعانة
الطالبين ج : 2 ص : 333
“(Haram memakan
dst) sampai ungkapan: maka wajib atas pekurban mensedekahkan seluruh qurbannya
hingga tanduk dan kakinya.”
Apabila pemilahan antara qurban sunnah dan nadzar/wajib menemui kesulitan,
maka dianggap cukup dengan cara memisahkan daging seukuran qurban nadzar/wajib
dari daging yang ada, kemudian mensedekahkan sisanya kepada selain yang
bernadzar/berkorban wajib dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya.
افتى النووى كابن
الصلاح فيمن غصب نحو نقد او بر وخلطه بماله ولم يتميز بان له افراز قدر المغصوب
ويحل له التصرف فى الباقى (فتح المعين هامش الاعانة ج : 1 ص : 127)
“Imam Nawawi berfatwa sebagaimana
Imam Ibnu Shalah tentang seseorang yang ghashab semisal uang (dinar/dirham)
atau biji gandum dan mencampurkannya dengan harta miliknya dan tidak dapat
membedakannya bahwa baginya boleh memisahkan seukuran barang dighashabnya dan
halal baginya mentasarufkan sisanya.”
(d) Penyerahan Berupa Uang
Seharga Hewan Ternak
Penyerahan
sejumlah uang oleh pekurban kepada panitia agar dibelikan ternak layak qurban
sekaligus sampai pada penyembelian serta pembagian dagingnya, menurut pandangan
ulama adalah boleh sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah al-Thalibin,
في فتاوي العلامة
الشيخ محمد بن سليمان الكردي محشي شرح ابن حجر على المختصر ما نصه سئل رحمه الله
تعالى جرت عادة أهل بلد جاوى على توكيل من يشتري لهم النعم في مكة للعقيقة أو
الأضحية ويذبحه في مكة والحال أن من يعق أو يضحي عنه في بلد جاوى فهل يصح ذلك أولا
أفتونا الجواب نعم يصح ذلك ويجوز التوكيل في شراء الأضحية والعقيقة وفي ذبحها
ولوبغير بلد المضحي والعاق (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 335)
Dalam kitab Fatawa Syekh Sulaiman
al-Kurdi Muhasyyi Syarah Ibni Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu
pertanyaan : Ditanyakan kepada beliau “Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa
mewakilkan kepada seseorang agar membelikan ternak untuk mereka di Makkah
sebagai aqiqah atau qurban dan agar menyembelihnya di Makkah, sementara orang
yang di aqiqahi atau qurbani berada di Jawa. Apakah hal demikian itu sah atau
tidak ? Mohon diberikan fatwa jawabannya ! “. Ya, demikian itu sah.
Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan qurban dan aqiqah dan juga
penyembelihnya sekalipun tidak dilaksankan di negara orang yang berkorban atau
beraqiqah.
Ada hal penting yang perlu
diperhatikan ketika penyerahan pekurban kepada panitia itu berupa uang, yaitu
panitia wajib menentukan/meniatkan ternak yang telah dibelinya dengan
mengatasnamakan orang yang telah memberi kuasa kepadanya. (Lihat : Al-Bajuri,
juz 2, halaman 296)
2. Tentang Perwakilan (wakalah) dan pemberian izin pada panitia
(a) Perwakilan (wakalah)
Panitia Qurban adalah sekelompok
orang-orang tertentu yang pada umumnya dipersiapkan oleh suatu organisasi
(ta’mir masjid, mushalla, instansi dan lain-lain) guna menerima kepercayaan
(amanat) dari pihak pekurban (mudlahhi) agar melaksanakan penyembelihan
hewan qurban dan membagikan dagingnya.
Memperhatikan pengertian panitia di atas
maka dalam pandangan fiqih panitia adalah wakil dari pihak mudlahhi.
وفي الشرع تفويض شخص
شيأ له فعله مما يقبل النيابة الى غيره ليفعله حال حياته (هامش حاشية الباجورى جز 1 ص : 386 )
“Wakalah
menurut syara’ adalah penyerahan oleh seseorang tentang sesuatu yang boleh ia
kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan (pihak lain), kepada
pihak lain agar dikerjakannya diwaktu pihak pertama masih hidup.”
(والوكيل امين )
لانه نائب عن الموكل في اليد والتصرف فكانت يده كيده (حاشية الجمل جز 3 ص : 416)
“Wakil
adalah pengemban amanah, karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan)
dalam kekuasaan dan tasharruf, jadi kekuasannya seperti kekuasaan pihak
muwakkil.”
Penyerahan hewan qurban kepada
panitia (wakil) haruslah melalui pernyataan yang jelas dalam hal status
qubannya (sunat / wajib) maupun urusan yang diserahkannya (menyembelih saja
atau dan juga membagikan dagingnya) pada pihak ketiga. Oleh karenanya harus ada
pernyataan mewakilkan (menyerahkan) oleh pihak pekurban (mudlahhi) dan
penerimaan oleh pihak panitia, lalu serah-terima hewan qurbannya.
أركانها اربعة موكل ووكيل وموكل فيه وصيغة ويكفى فيها اللفظ من احدهما وعدم
الرد من الأخر كقول الموكل وكلتك بكذا او فوضته اليك ولو بمكاتبة او مراسلة (الباجورى جز 1 ص : 296 )
“Rukun
wakalah ada empat : (1) Muwakkil (2) Wakil (3) Muwakkal fih dan (4) shighat. Pernyataan
dari salah pihak dan tidak ada penolakan dari pihak yang lain sudah mencukupi
dalam shighat ini. Misalnya muwakkil mengatakan, ‘Aku wakilkan padamu hal
demikian-demikian, atau aku menyerahkan urusan ini padamu.’ (Hal itu sah),
meski dengan cara penulisan atau surat.”
Qurban sebagai ibadah memerlukan
niat baik oleh pihak pekurban sendiri atau diserahkannya kepada wakilnya,
kecuali qurban nadzar maka tidak ada syarat niat.
ولا يشترط فى المعينة ابتداء
بالنذر النية بخلاف المتطوع بها والواجبة بالجعل او بالتعيين عما فى الذمة فيشترط
له نية عند الذبح او عند التعيين لما يضحى به كالنية فى الزكاة وله تفويضها لمسلم
مميز وان لم يوكله فى الذبح (الباجرى جز 2 ص : 296 )
“Tidak disyaratkan niat dalam
qurban yang telah ditentukan sejak permulaan dengan jalan nadzar. Beda halnya
dengan qurban sunat dan qurban wajib dengan jalan ja’li
(menjadikan) atau ta’yin
(menentukan) dari apa yang dalam tanggungannya, maka disyaratkan niat ketika
menyembelih atau menentukan hewan qurbannya sebagaimana niat dalam ibadah
zakat. Boleh juga niat diserahkan kepada seorang muslim yang sudah tamyiz
sekalipun ia tidak dijadikan wakil dalam menyembelih.”
(b)
Tugas Panitia Qurban
Tugas pokok panitia adalah menyembelih
dan membagikan dagingnya kepada pihak yang berhak sesuai dengan pernyataan
pihak pekurban saat penyerahan hewan qurban dan pihak wakil/panitia
sedikipun tidak diperkenankan melanggar amanah ini sebagaimana keterangan
di atas.
ولايملك الوكيل من التصرف الا ما يقتضيه اذن
الموكل من جهة النطق او من جهة العرف
(المهذب جز 1 ص : 350 )
“Tidak
berkuasa seorang wakil dari urusan tasharuf melainkan sebatas izin yang didapat
dari muwakkil melalui jalan ucapan atau adat yang berlaku.”
(c)
Panitia Mengambil / Memakan dari Bagian Qurban
Sesuai dengan
amanat yang diterimanya dari pihak pekurban, yaitu menyembelih dan membagikan
dagingnya, maka panitia tidak diperbolehkan mengambil atau memakan sedikitpun
daripadanya. Kemudian agar panitia bisa mengambil sebagian daging qurban
(sunnah), maka harus ada izin dari pihak mudlahhi agar ia diperbolehkan
mengambilnya dalam batas ukuran tertentu.
ولا يجوز له أخذ شيئ الأ ان
عين له الموكل قدرا منها ( الباجورى جز 1 ص : 387)
“Tidak
boleh bagi wakil (panitia) mengambil sedikitpun, kecuali pihak yang mewakilkan
(muwakkil) sudah menentukan sekadar
dari padanya untuk pihak wakil.”
3. Tentang Biaya perawatan dan penyembelihan
(a) Agar tidak terjadi praktik penjualan kulit kurban, baik oleh panitia, orang
yang berkurban, atau atau penerima (mustahiq) kaya, misalnya dengan alasan
biaya operasional, atau biaya perawatan dan penyembelihan qurban.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan, para
ulama seluruhnya sepakat untuk mengharamkan menjual daging dan kulit hewan
qurban. Dalilnya adalah sabda nabi SAW:
مَنْ بَاعَ
جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
Siapa yang menjual kulit hewan
qurban, maka dia tidak memperoleh qurban apapun. (HR Hakim). Al-Hakim menshahihkan hadits ini dalam
kitab Al-Mauhibah jilid 4 halaman 697.
Haramnya menjual
kulit hewan qurban ini telah ditetapkan oleh Keputusan Muktamar
ke-27 Nahdhatul-Ulama di Situbondo pada tanggal 8-21 Desember 1984. Bunyinya: “Menjual
kulit hewan qurban tidak boleh kecuali oleh mustahiqnya (yang
berhak atas kulit-kulit itu) yang fakir/miskin. Sedangkan
mustahiq yang kaya, menurut pendapat yang mu’tamad tidak boleh.:
Sebagian ulama mazhab
As-Syafi’i membolehkan menjual daging hewan qurban sebatas orang
miskin yang telah menerimanya. Sedangkan pihak yang memiliki hewan,
atau orang yang menerima lewat sedekah, diharamkan menjualnya. Maka untuk
keabsahan qurban dan sebagai solusi, kulit qurban diberikan kepada penerima
yang fakir/miskin, tidak oleh pekurban, atau panitia yang menjual kulit
secara sepihak, atau sebagai wakil dari pekurban, atau oleh penerima yang kaya.
(b) Agar tidak terjadi praktik pengupahan tukang potong hewan (jagal) yang
diambilkan dari bagian kurban, baik daging maupun kulitnya.
Dari Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى
بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ
لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» ، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
“Aku (Ali bin Abi Thalib) pernah diperintahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya, dan agar
membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa
daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan aku tidak boleh memberikannya
kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan
Muslim) Dalam redaksi lainnya, Imam Ali berkata, “Kami mengupahnya dari
uang kami pribadi.” (HR. Muslim).
Hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam Raudhatuth
Thalibin, Jilid 2, halaman 222 mengatakan,
وَلَا أَنْ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ شَيْئًا مِنْهُمَا أُجْرَةً لَهُ، بَلْ
مُؤْنَةُ الذَّبْحِ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمَهْدِيِّ كَمُؤْنَةِ الْحَصَادِ.
وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْهُمَا شَيْئًا لِفَقْرِهِ، أَوْ يُطْعِمَهُ إِنْ
كَانَ غَنِيًّا. (روضة الطالبين وعمدة المفتين 3/ 222(
“Ia (orang yang
berkurban, penj) tidak boleh memberikan kepada tukang sembelih
dari daging kurban dan hadyu (hewan yang disembelih di tanah suci, penj),
sebagai ongkos penyembelihan. Namun, biaya penyembelihan dibebankan kepada
orang yang berkurban, seperti ongkos panen. Boleh bagi orang yang berkurban
untuk memberi tukang sembelih itu dari kurban dan hadyu, karena
kefakiran tukang sembelih itu, atau memberi tukang sembelih itu makan, jika
tukang sembelih itu orang yang kaya.”
Wallahu a’lam
bish-shawab.
0 Komentar