Penulis :
Ibnu Zulkifli As-Samarindy
Dalil-dalil
yang berkaitan tentang wali bagi wanita di dalam akad Nikah.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari
‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah
batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah
wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi
no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan.Dishohihkan oleh Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 2709 )
عَنْ أَبِيْ
مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ
بِوَلِيٍّ
Dari Abu
Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no.
2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Dishohihkan
oleh Al-Albani dalamShohihul Jami’ 7555)
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا
Dari Abu
Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa
pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan
dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh
Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
BEBERAPA
PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN WALI DALAM AKAD NIKAH
Permasalahan
Pertama : Apakah disyaratkan di dalam akad nikah adanya wali bagi seorang
wanita , baik wanita tersebut belum pernah menikah atau sudah pernah menikah,
Masih kecil atau sudah dewasa ??
Mayoritas
Ulama mengatakan wali adalah syarat dalam pernikahan, berdalil dengan
hadits Aisyah dan Abu Musya Radhiyallahu’ anhuma yang telah
disebutkan.
Berkata
Ibnul Mundzir Rahimahullah “Aku tidak mengetahui
seorang (pun) dari sahabat menyelisihi (pendapat) itu”
Maka atas
pendapat mayoritas ulama, apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
maka pernikahannya bathil atau tidak sah.
Dan sebagian
para ulama berpendapat lain, mereka bependapat bahwa wanita tersebut berdosa
dan status pernikahannya tergantung dari walinya, apakah mengizinkan atau
tidak. Atau dengan kata lain, tidak langsung dikatakan tidak sah. Ini adalah
pendapat Ibnu Sirin, Al-Qosim, Al-Hasan bin Sholih, Abu Yusuf dan Al-Auza’IRahimahumullah
Adapun Abu
Hanifah Rahimahullah mengatakan bahwa seorang wanita boleh
menikahkan dirinya sendiri sebagaimana juga dia boleh melakukan jual beli, akan
tetapi menurutnya ini hanya berlaku bagi wanita yang sudah Baligh dan Rasyidah
(bisa memilih yang baik dan jelek menurutnya)
Dan sebuah
riwayat dari Imam Malik Rahimahullah , bahwa beliau
berpendapat bolehnya wanita tersebut menikahkan dirinya sendiri apabila dia
tidak termasuk wanita yang terhormat.
Dan Dawud
Adz-Dzhohiri Rahimahullah berpendapat bahwa syarat adanya wali
untuk wanita hanya bagi yang belum pernah menikah, adapun untuk janda maka
tidak disyaratkan. Berdalil dengan hadits :
الثيب أحق بنفسها من
وليها
“Seorang
janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya” (HR. Muslim 1421)
Dan pendapat
yang benar adalah pendapat mayoritas ulama, Bahwa wali adalah syarat sahnya
akad nikah, baik untuk wanita yang belum menikah ataupun sudah pernah, gadis
kecil maupun wanita dewasa. Dalil-dalil dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Adapun Qiyas Abu
Hanifah Rahimahullah dengan memperumpamakan dengan jual beli
adalah qiyas yang rusak, karena bertentangan dengan Dalil .
Adapun dalil
yang dibawakan oleh Dawud Adz-Dzhohiri Rahimahullah untuk
menguatkan pendapatnya adalah berkaitan dengan izin sang wanita, bukan terkait
dengan perwalian. Abu Hazm Rahimahullah juga menyelisinya
dalam permasalahan ini, dan berjalan bersama mayoritas ulama.
Permasalahan
Kedua : Urutan
Wali bagi wanita:
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut, Ayah, Kakek , ke
atas kemudian Anak Laki-laki, Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah.
Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah) dan anak-anak
mereka. Kemudian Saudara laki-laki Ayah, kemudian anak-anak mereka..
Ada perbedan
pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut :
Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah
Dan
Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan jawaban bahwa seorang ayah lebih
paham tentang maslahat untuk puterinya dibanding anak wanita tersebut dan yang
kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam
syariat ketika sang wanita tersebut masih belum memiliki anak, maka dibutuhkan
dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat mayoritas ulama lebih
kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin Rahimahullah
Adapun
apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari
Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para
ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah
Hakim, ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat
dari Abu HanifahRahimahumullah . Dan ini adalah pendapat yang
benar, berdasarkan Hadits :
فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka
pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi
no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 2709 )
Permasalahan
Ketiga : Sifat
wali
Wali harus
seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini. Berdasakan Firman Allah ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan
laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian adalah pemimpin
bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)
وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
Kemudian
Wali harus sudah Baligh, ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan ini adalah
pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah
membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka
perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
Apakah
seorang wali adalah harus laki-laki yang adil (bukan orang fasiq ) ??? terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sebagian
ulama menjadikan Adil sebagai syarat untuk menjadi wali, maka di sisi mereka
orang-orang fasiq tidak memiliki hak perwalian. Karena bisa saja dia akan
menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq juga. Ini adalah salah satu
riwayat yang dinukilkan dari imam Ahmad, juga salah satu dari pendapat
Asy_Syafi’iRahimahumallah .
Sebagian
ulama lainnya berpendapat tidak adanya syarat adil bagi wali, sehingga wali
yang fasiq perwaliannya shohih. Karena Allah menafikan perwalian hanya dari
orang Kafir, maka dipahami dari sini bahwa perwalian orang fasiq Tsabit atau
diakui. Dan ini adalah pendapat yang shohih atau benar.
Adapun
apabila sang wali fasiq itu ingin menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq
maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ (QS. Al-Maidah :
2)
Dan firman
Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..”. (QS. At Tahrim:6].
Dan sang
wanita berhak untuk menolak untuk menikahi pria fasiq tersebut, dan dalam
keadaan seperti ini akad nikah tidak sah karena sang wanita tidak menginginkan
laki-laki tersebut.
Adapun Ibnu
Utsaimin Rahimahullah berpendapat dengan perincian sebagai
berikut, apabila kefasikan sang wali tersebut akan berkonsekuensi dengan
tindakan menikahkan sang wanita dengan orang-orang fasiq atau laki-laki yang
tidak diinginkan atau disetujui oleh sang wanita, maka gugur perwalian darinya
dan tidak boleh baginya menjadi wali.
Dan Apabila
kefasikanya tidak berdampak pada hal-hal yang telah disebutkan maka
perwaliannnya sah.
Wallahu
A’lam
(Fathul
Alam, Muhammad Bin Hizam Al-Ibbi hafidhahullahu )
0 Komentar